Rupa-rupa Jurus Lawan KPK
VIVA – Puluhan orang tampak memadati Ruang Sidang Utama Prof H Oemar Seno Adji, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat 8 Desember 2017. Mereka berjejal, memenuhi ruang sidang. Seluruh kursi pengunjung di ruangan berdinding putih ini sudah terisi. Pengunjung yang tak kebagian kursi memilih duduk di lantai atau berdiri.
Sekitar enam puluhan polisi menjaga jalannya sidang. Mereka berjaga di dalam dan di luar ruang sidang. Sementara sisanya mengamankan area pengadilan, mulai dari halaman hingga lokasi parkir kendaraan pengadilan yang terletak di Jalan Ampera Raya, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini.
Hakim Tunggal Kusno memimpin jalannya sidang praperadilan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Kusno, hakim tunggal yang menangani pra peradilan penetapan status tersangka Ketua DPR RI, Setya Novanto terlihatmemimpin sidang. Tak jauh dari meja hakim, tampak tim kuasa hukum Setya Novanto. Tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pihak termohon juga terlihat sudah duduk berjajar persis di seberang meja tim kuasa hukum Novanto. Empat kardus warna cokelat dan satu tas berkas dokumen terlihat di depan meja tim dari KPK.
Ini merupakan sidang ketiga pra peradilan yang diajukan Setya Novanto. Ketua Umum Partai Golkar ini kembali mengajukan gugatan pra peradilan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk kedua kali. Kali ini sidang mengagendakan jawaban dari KPK selaku pihak termohon.
Strategi Tersangka Koruptor
Setya Novanto merupakan tersangka kasus korupsi kesekian yang mengajukan gugatan pra peradilan. Sebelumnya, sejumlah pesakitan KPK juga mengadu untung dengan melayangkan gugatan pra peradilan. Beberapa berhasil membatalkan status tersangka yang disematkan KPK. Namun banyak juga yang gagal dan gugatannya ditolak hakim.
Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, pra peradilan memang bisa menjadi titik lemah yang digunakan jejaring politik dan ekonomi koruptor untuk melawan KPK dengan membajak proses hukum formal yang ada. “Kalau pengadilan Tipikor lemah, mereka pasti akan bajak juga prosesnya,” ujar Sekretaris Jenderal TII, Dadang Trisasongko, kepada VIVA, Rabu 6 Desember 2017.
Pendapat senada disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Koordinator Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri, mengatakan pra peradilan merupakan salah satu upaya serangan balik dari tersangka kasus korupsi. Menurut dia, serangan balik terhadap KPK banyak terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, kriminalisasi pimpinan dan penyidik, teror penyidik, pelucutan kewenangan, judicial review ke MK hingga menghambat kenaikan atau pencairan anggaran. “Pra peradilan bisa dinilai sebagai modus baru serangan koruptor,” ujarnya kepada VIVA, Kamis 7 Desember 2017.
Penilaian berbeda disampaikan Nasir Djamil. Anggota Komisi III DPR RI ini mengatakan, pra peradilan merupakan hak tersangka guna menguji proses hukum. Karena menurut dia, penegak hukum bisa saja sewenang-menang. “Menetapkan sebagai tersangka bisa sewenang-wenang. Karena itu bisa diuji di pengadilan, lewat pra peradilan,” ujarnya kepada VIVA, Kamis 7 Desember 2017.
Menurut dia, upaya pra peradilan yang dilakukan tersangka kasus korupsi masih on the track dan masih sesuai ranah hukum. “Tinggal hakimnya diawasi dengan ketat,” ujar anggota dewan asal Partai Keadilan Sejahtera ini menambahkan.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan saat ditemui VIVA.co.id di Gedung KPK, Jakarta. (VIVA/Muhamad Solihin)
Waki Ketua KPK Basaria Panjaitan juga berpendapat sama. Menurut dia, pra peradilan merupakan hak tersangka. “Harus kita hargai seperti amanat undang-undang. Biar yang bersangkutan (tersangka) nanti lakukan pra peradilan. KPK juga akan berusaha membuktikan apa yang dilakukan,” ujarnya kepada VIVA, Kamis 7 Desember 2017.
Pengacara Setya Novanto, Ketut Mulya Arsana, membantah tudingan TII dan ICW. Ia mengatakan, setiap orang punya hak untuk mengajukan praperadilan. “Kalau haknya dirampas oleh negara secara paksa kan dia punya hak untuk melakukan upaya hukum,” ujarnya kepada VIVA, Jumat 8 Desember 2017.
Ia menyesalkan sikap KPK yang buru-buru melimpahkan kasus Novanto ke pengadilan, sementara sidang pra peradilan masih berjalan. Menurut dia, seharusnya pra peradilan dihormati karena menentukan sah atau tidaknya status tersangka. “Kan kita pra peradilan lebih dulu. Jadi harusnya sidangnya nunggu pra peradilan dong,” ujarnya menambahkan.
Tim kuasa hukum Novanto juga keukeuh, tak akan mencabut gugatan pra peradilan meski kasus Ketua DPR tersebut akan segera disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. “Tidak, kami tidak akan mencabut pra peradilan. Kami hanya mohon diselesaikan, apa pun keputusannya.”
Teror dan Intimidasi
Febri Hendri menuturkan, pra peradilan hanya salah satu serangan balik koruptor atau tersangka korupsi terhadap KPK. Menurut dia, serangan terhadap KPK yang lain adalah teror dan intimidasi. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan misalnya. “Kasus Novel merupakan serangan terhadap KPK dan Gerakan Anti Korupsi,” ujarnya.
Menurut dia, kasus Novel tidak bisa dilepaskan dari tugasnya sebagai penyidik KPK yang menangani berbagai kasus korupsi besar di negeri ini. Sayangnya penanganan kasus ini terkesan lambat. “Kasus ini berkaitan dengan kasus yang ditangani Novel di KPK yang diduga melibatkan banyak elite petinggi negeri dan penegak hukum. Oleh karena itu, sulit mencari titik terang kasus ini jika tidak ada tim independen atau TGPF yang akan membantu Kepolisian mencari bukti dan pelaku.”
Dadang Trisasongko juga menilai, belum ada perkembangan yang signifikan terkait penanganan kasus Novel. Menurut dia, sejak awal, publik sangat meragukan keseriusan Polri. “Sebuah Tim Gabungan Pencari Fakta makin mendesak dibentuk agar Novel dan publik segera mendapatkan keadilan. Sekarang bolanya ada di tangan Presiden Jokowi. Jangan sampai kasus ini sampai berulang tahun untuk pertama kalinya,” ujarnya.
Menurut Dadang, jika pemerintah gagal mengungkap siapa pelaku dan dalang kasus serangan terhadap Novel, maka publik makin percaya kalau ada keterlibatan orang kuat yang tak bisa disentuh oleh hukum di balik kasus tersebut.
Nasir Djamil juga heran dengan lambannya penanganan kasus Novel. “Kalau dibilang kekurangan sumber daya manusia nggak. Dibilang nggak pinter juga nggak. Teroris aja bisa dia dapat, iya kan,” ujarnya keheranan.
Menurut dia, Presiden Jokowi harus turun tangan. Sebab ia menilai, selama ini Presiden hanya retorika semata. “Kenapa polisi bisa lambat begitu ya karena presidennya retorika. Presiden pernah bilang, telah memerintahkan Kapolri. Kalau memang Presiden serius, dia akan menagih terus. Presiden itu kan atasannya Kapolri, jadi ya tinggal kemauan daripada Presiden dan Polri untuk mengungkap itu,” ujarnya menambahkan.
Seperti yang lain, anggota Komisi Hukum ini juga curiga, kasus Novel merupakan serangan balik koruptor terhadap KPK. “Orang kan gerah dengan sepak terjang Novel.”
Ketua KPK, Agus Raharjo, mengatakan beberapa waktu lalu polisi sudah membuat dua sketsa wajah yang diduga sebagai pelaku penyerangan terhadap Novel. Menurut dia, hal itu harus diapresiasi karena ada kemajuan yang cukup signifikan.
“Waktu itu kita juga sudah minta dijelaskan oleh polisi Australia. Kami cukup apresiasi perkembangannya. Kami berharap pelaku dapat diketemukan dalam waktu yang tak lama lagi,” ujarnya kepada VIVA, Kamis 7 Desember 2017.
Berbeda dengan ICW dan TII, KPK menilai belum perlu membentuk TGPF guna mengusut kasus Novel. “Mungkin belum waktunya kalau kita melihat (perkembangan penyidikan Polda). Karena hasilnya sudah ada beberapa titik terang walaupun pasti masih memerlukan kerja keras,” ujarnya.
Agus Rahardjo mengakui, Novel bukan penyidik pertama dan terakhir yang mendapatkan teror. Menurut dia, sejumlah penyidik KPK yang lain juga kerap mendapat teror. Menurut dia, teror tersebut merupakan serangan balik koruptor. “Ya jelas. Dan kami atas nama pimpinan mengutuk keras teror dan perbuatan keji itu,” ujarnya menegaskan.
“Tapi kalau tujuan teror ini berkaitan penanganan kasus perkara, itu salah sasaran. Kamilah pimpinan KPK yang bertanggung jawab terhadap penanganan kasus korupsi. Penyidik ini kerja berdasarkan perintah kami.”
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan, sudah 500 an lebih orang yang menghubungi hotline yang disiapkan Polda. Namun menurut dia belum ada yang signifikan. “Kita tunggu saja. Kalau lihat, kasih saya aja orangnya di mana,” ujarnya kepada VIVA, Jumat 8 Desember 2017.
Menurut dia, tidak semua kasus mudah dipecahkan. “Sudah kita sampaikan kemarin ada juga kasus yang lama, baru kita dapatkan. Kita tetap bekerja, untuk menyelidiki siapa yang melakukan penyiraman,” ujarnya menambahkan.
Ia berdalih, ada kasus yang penangannya lama, bisa dua tahun, tiga tahun bahkan empat tahun. Ia mencontohkan kasus bom Paris yang terjadi pada 2014 lalu. Meski ada CCTV namun sampai sekarang pelakunya belum ketemu. Kemudian kasus pembunuhan satu rumah di Jakarta Barat. Sampai sekarang pelakunya juga belum ketemu. “Jadi itu semua tergantung dari kasus itu sendiri apakah ada saksi yang melihat.”
Revisi Regulasi
Selain pra peradilan, teror dan intimidasi, desakan revisi UU KPK juga dinilai sebagai serangan balik untuk melemahkan upaya komisi antirasuah itu memberantas korupsi. Menurut Febri Hendri, revisi UU KPK atau UU Tipikor bisa saja untuk memperkuat kewenangan KPK.
Namun, untuk saat ini, sebagian besar kelompok politik menggunakan revisi UU KPK untuk melucuti kewenangan KPK. Ia menduga, desakan revisi tersebut merupakan upaya koruptor untuk melemahkan KPK.
Sementara Danang menilai, agenda revisi UU KPK sudah tutup buku. “Tidak relevan lagi dan juga melawan arus besar kehendak rakyat yang menginginkan Indonesia bebas dari korupsi,” ujarnya. Menurut dia, KPK justru harus diperkuat. Proteksi hukum terhadap para komisioner pun harus diperkuat.
KPK juga tetap keukeuh menolak rencana revisi tersebut. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyatakan, pihaknya menolak wacana revisi UU KPK. “Dan kami berharap revisi dibatalkan. Sejauh ini masih wacana dan rasa-rasanya tidak akan terjadi revisi UU KPK,” ujarnya kepada VIVA, Kamis 7 Desember 2017.
Nasir Djamil membantah, revisi regulasi yang mengatur gerak KPK dalam pemberantasan korupsi sebagai upaya untuk melemahkan KPK. Menurut dia, revisi hanya untuk mengevaluasi program pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Kita mengevaluasi yang dilakukan Kepolisian, Kejaksaan, KPK. Kita ingin melihat mana celah-celah yang masih kurang, atau yang berlebihan. Kalau norma-norma itu sudah sangat berlebihan, maka kan harus dikoreksi,” ujarnya.
Menurut dia, revisi UU KPK adalah sesuatu yang biasa. “Karena memang yang kita inginkan bagaimana mencegah agar orang tidak korupsi dan mengembalikan kerugian negara.” (ren) [Viva]
Post a Comment