Tips buat Kaum Jomblo yang Datang Reunian
Menjelang pertengahan dan hari-hari terakhir bulan puasa, biasanya sering diselenggarakan acara buka bersama kawan-kawan SD, SMP, SMA, maupun kawan-kawan semasa kuliah. Acara ini sekaligus juga menjadi ajang reuni alias temu kangen.
Bagi saya, ini adalah acara yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Menyenangkan karena bisa bertemu dengan kawan-kawan masa sekolah yang sudah lama tak bertemu. Namun juga menjadi menyebalkan karena acara ini sering kali menjadi ajang pamer kesuksesan.
Tapi tak apa, karena sekarang alhamdulilah nasib saya sudah agak lebih baik. Dulu sewaktu saya masih kerja jadi OP Warnet*, saya begitu malu untuk menghadiri acara ini. Maklum, kawan-kawan saya rata-rata sudah menjadi orang sukses, yah, minimal lumayan sukses lah, sehingga ketika ngobrol soal pekerjaan, saya selalu minder setengah mati.
Nah, sekarang saya sudah jadi penulis (yah, walau masih ecek-ecek), sudah menerbitkan buku sendiri, dan sudah agak terkenal (dikit lah). Jadi, setidaknya sudah ada sesuatu yang bisa dibanggakan. Minimal sudah bisa jawab "penulis" kalau ditanya "sekarang kerjaanmu apa?".
Namun walau begitu, saya masih tetep menganggap ada sisi menyebalkan dari acara ini. Tak lain dan tak bukan adalah karena adanya faktor "segmen nyinyir".
Segmen nyinyir, begitu saya menyebutnya, adalah satu sesi dimana para peserta bukber ngobrol nyinyir soal pasangan seusai bersantap buka.
"Eh, kamu masih jadian sama dia ya?"
"Jadi si A sekarang jalan sama si B ya?"
"Kamu sudah lama pacaran sama si C, kapan nih undangannya nyampai?"
"dst..."
Sebagai bujangan yang awet, tentu saya tak bisa berpartisipasi aktif dalam arus obrolan ini. Maklum, sampai sekarang saya belum juga punya pacar. Praktis, saya hanya bisa menyimak dan mendengarkan. Saya lebih banyak pasifnya. Lebih banyak diamnya.
Saya selalu berhati-hati, sebisa mungkin saya tidak memancing keadaan. Saya takut ditanya, "sudah punya pacar atau belum?". Saya tak ingin bernasib sial seperti beberapa kawan saya (yang juga masih jomblo) yang lepas kontrol dan terpancing, sehingga status jomblonya justru semakin terumbar.
Beberapa kawan senasib, sukses dijadikan bahan guyonan, "oalah, presiden sudah mau ganti, mosok status asmaramu belum juga diganti, ndak malu sama demokrasi?" yang kemudian disambut dengan gelak tawa seluruh peserta segmen nyinyir.
Walau bukan saya yang dijadikan sasaran ejekan, tapi sebagai kawan senasib dan sepenanggunggan, kadang saya ikut juga merasakan perihnya.
Tapi jelas, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti dia akan jatuh juga. Sepandai-pandainya saya mengelak, kelak saya pasti akan terpancing juga.
Karenanya, kalau ndilalah besok saya ditanya, "Gus, siapa pacar kamu sekarang?" Mungkin akan saya jawab dengan jawaban klise khas eksekutif bujang: "Saya masih ingin fokus sama karir!". Bah, terserah apa kata mereka, yang penting mah bagi saya, gengsi tetap terjaga.
Bagi saya, ini adalah acara yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Menyenangkan karena bisa bertemu dengan kawan-kawan masa sekolah yang sudah lama tak bertemu. Namun juga menjadi menyebalkan karena acara ini sering kali menjadi ajang pamer kesuksesan.
Tapi tak apa, karena sekarang alhamdulilah nasib saya sudah agak lebih baik. Dulu sewaktu saya masih kerja jadi OP Warnet*, saya begitu malu untuk menghadiri acara ini. Maklum, kawan-kawan saya rata-rata sudah menjadi orang sukses, yah, minimal lumayan sukses lah, sehingga ketika ngobrol soal pekerjaan, saya selalu minder setengah mati.
Nah, sekarang saya sudah jadi penulis (yah, walau masih ecek-ecek), sudah menerbitkan buku sendiri, dan sudah agak terkenal (dikit lah). Jadi, setidaknya sudah ada sesuatu yang bisa dibanggakan. Minimal sudah bisa jawab "penulis" kalau ditanya "sekarang kerjaanmu apa?".
Namun walau begitu, saya masih tetep menganggap ada sisi menyebalkan dari acara ini. Tak lain dan tak bukan adalah karena adanya faktor "segmen nyinyir".
Segmen nyinyir, begitu saya menyebutnya, adalah satu sesi dimana para peserta bukber ngobrol nyinyir soal pasangan seusai bersantap buka.
"Eh, kamu masih jadian sama dia ya?"
"Jadi si A sekarang jalan sama si B ya?"
"Kamu sudah lama pacaran sama si C, kapan nih undangannya nyampai?"
"dst..."
Sebagai bujangan yang awet, tentu saya tak bisa berpartisipasi aktif dalam arus obrolan ini. Maklum, sampai sekarang saya belum juga punya pacar. Praktis, saya hanya bisa menyimak dan mendengarkan. Saya lebih banyak pasifnya. Lebih banyak diamnya.
Saya selalu berhati-hati, sebisa mungkin saya tidak memancing keadaan. Saya takut ditanya, "sudah punya pacar atau belum?". Saya tak ingin bernasib sial seperti beberapa kawan saya (yang juga masih jomblo) yang lepas kontrol dan terpancing, sehingga status jomblonya justru semakin terumbar.
Beberapa kawan senasib, sukses dijadikan bahan guyonan, "oalah, presiden sudah mau ganti, mosok status asmaramu belum juga diganti, ndak malu sama demokrasi?" yang kemudian disambut dengan gelak tawa seluruh peserta segmen nyinyir.
Walau bukan saya yang dijadikan sasaran ejekan, tapi sebagai kawan senasib dan sepenanggunggan, kadang saya ikut juga merasakan perihnya.
Tapi jelas, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti dia akan jatuh juga. Sepandai-pandainya saya mengelak, kelak saya pasti akan terpancing juga.
Karenanya, kalau ndilalah besok saya ditanya, "Gus, siapa pacar kamu sekarang?" Mungkin akan saya jawab dengan jawaban klise khas eksekutif bujang: "Saya masih ingin fokus sama karir!". Bah, terserah apa kata mereka, yang penting mah bagi saya, gengsi tetap terjaga.
sumber Klik Here
Post a Comment