Status Yerusalem, Ini Daftar Resolusi PBB yang Dilanggar Trump
JAKARTA, Indonesia – Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump melawan sikap dunia dengan mengumumkan pengakuan terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel. Dalam keterangan pers di Gedung Putih, Senin, 6 Desember 2017, Trump juga memerintahkan pemindahan segera kantor kedutaan besar AS ke Yerusalem.
Selama ini semua kantor misi diplomatik di Israel, ada 86, berlokasi di Tel Aviv. Trump mengatakan bahwa presiden pendahulunya menjadikan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibukota Israel sebagai janji kampanye. “Mereka gagal memenuhi janji itu. Hari ini saya memenuhi janji,” ujarnya.
Trump mengatakan bahwa keputusan mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel menandai dimulainya pendekatan baru untuk menangani konflik antara Israel dan Palestina. Trump menuai kritik karena menunjuk menantunya, Jared Kushner, sebagai utusan khusus misi perdamaian Israel-Palestine. Kushner adalah seorang Yahudi.
Dunia internasional selama ini menganggap Yerusalem adalah wilayah yang harusnya berada di bawah kewenangan internasional, dan diberikan status hukum dan politik yang terpisah (separated body). Sikap ini diambil PBB, dalam resolusi Majelis Umum PBB Nomor 181 tahun 1947. Resolusi ini juga memberikan mandat berdirinya negara Arab (Palestina) dan negara Yahudi (Israel) yang masing-masing berstatus merdeka.
Sikap Presiden Trump bertentangan dengan konsensus internasional atas Yerusalem, sebuah kota dengan penduduk sekitar 857 ribu orang yang terletak di barat Laut Mati. Jarak antara Yerusalem dengan Ramallah, kawasan Palestina, sekitar 20 kilometer.
Yerusalem adalah kota tujuan ziarah reliji tiga agama, Yahudi, Islam dan Kristen. Separuh dari kota yang terletak di bukit ini dikuasai oleh Israel sejak perang antara Arab dan Israel pada Juni 1967 yang dikenal dengan perang enam hari.
Pada tahun 1980, Israel menggolkan undang-undang yang menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Sebuah langkah yang melanggar hukum internasional. Israel tidak peduli. Israel membangun kantor pemerintahannya di Yerusalem juga, termasuk kantor presiden.
Di pihak lain, Palestina menganggap Yerusalem Timur, di mana berdiri Masjid Al Aqsa, salah satu dari tiga masjid suci bagi umat Islam, sebagai ibukota negara mereka kelak. Palestina belum diakui sebagai negara merdeka karena keberatan Israel dan sekutunya, terutama AS.
Laman Al Jazeera memuat daftar resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga internasional berkaitan dengan Yerusalem sejak perang 1967.
Resolusi Dewan Keamanan PBB atas Yerusalem
Resolusi 242 : 22 November 1967, DK PBB secara aklamasi menyepakati resolusi yang meminta Israel menarik pasukan militernya dari kawasan yang diduduki Israel sejak perang 1967.
Resolusi 250: 27 April 1968, meminta Israel tidak melakukan parade militer di Yerusalem.
Resolusi 251: 2 Mei 1968, mengutuk keras Israel yang melakukan parade militer di Yerusalem
Resolusi 252: 21 Mei 1968, meminta Israel membatalkan semua aktivitas di Yerusalem dan mengutuk okupasi wilayah manapun di sana melalui agresi militer. Resolusi ini juga meminta Israel menghentikan upaya yang mengarah ke perubahan status kota itu.
Resolusi 267 : 3 Juli 1969, mengkonfirmasikan resolusi 252, yang menolak bentuk akuisisi wilayah Yerusalem dengan penaklukkan militer.
Resolusi 271: 15 September 1969, mengutuk kerusakan besar yang disebabkan oleh upaya pembakaran ke masjid suci Al Aqsa, yang bangunannya terletak di wilayah yang dikuasai secara militer oleh Israel. Resolusi ini meminta Israel untuk memperhatikan bagian dari Konvensi Jenewa dan “menarik diri dari tindakan yang menyebabkan halangan atas berdirinya Majelis Agung Muslim Yerusalem”, termasuk “rencana Israel untuk memelihara dan memperbaiki tempat suci bagi agama Islam di kota Yerusalem.”
Resolusi 298: 25 September 1971, mengkonfirmasikan bahwa semua upaya yang dimungkinkan termasuk langkah yang diambil oleh Israel untuk mengubah status Yerusalem, termasuk penyitaan lahan, adalah ilegal.
Resolusi 465: 1 Maret 1980, meminta Israel untuk menghentikan perencanaan dan konstruksi dari pembangunan di kawasan yang telah dikuasasinya sejak 1967, termasuk Yerusalem. Resolusi ini juga meminta Israel membongkar pembangunan yang sudah dilakukan.
Resolusi 476: 30 Juni 1980, mengkonfirmasikan kembali, “kebutuhan mendesak untuk menghentikan okupasi wilayah Arab oleh Israel yang sudah berlangsung sejak 1967”. Resolusi ini juga menggarisbawahi semua tindakan yang sudah diambil (oleh Israel) atas status Yerusalem, batal demi hukum.
Resolusi 478 : 20 Agustus 1980, mengutuk “dalam bentuk yang paling keras”, upaya menghidupkan kembali aturan hukum Israel yang ingin mengubah status Yerusalem. Resolusi ini juga meminta semua negara yang telah mendirikan kantor misi diplomatic di Yerusalem untuk pindah dari kota itu.
Resolusi 672: 12 Oktober 1990, menunjukkan penyesalan atas terjadinya kekerasan yang memakan korban jiwa lebih dari 20-an warga Palestina, di Mesjid Al Aqsa pada 8 Oktober 1990. Resolusi ini juga mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Israel dan menyebut Israel sebagai “penjajah kekuasaan”.
Resolusi 1073 : 28 September 1996, menunjukkan kepedulian terhadap pembangunan di Yerusalem, berkaitan dengan tindakan Israel membuka jalur masuk ke terowongan dekat Masjid Al Aqsa. Tindakan ini memicu konflik dan menyebabkan kematian sejumlah warga sipil. Resolusi ini meminta Israel memberikan “keselamatan dan perlindungan” bagi warga sipil Palestina.
Resolusi 1322 : 7 Oktober 2000, menyesalkan kunjungan pemimpin oposisi Israel, Ariel Sharon, ke Masjid Al Aqsa, dan dampak kekerasan yang terjadi setelah itu di lokasi itu dan tempat suci lainnya, yang mengakibatkan lebih dari 80 warga Palestina tewas.
Resolusi 1397 : 12 Maret 2002, meminta pemimpin Palestina dan Israel untuk kembali ke proses perdamaian melalui negosiasi berkaitan dengan politik pembangunan di kawasan Yerusalem Timur.
Resolusi 2334: 23 Desember 2016, mengutuk konstruksi pembangunan yang dilakukan Israel di semua wilayah yang mereka kuasai sejak perang 1967, termasuk di Yerusalem Timur. DK PBB menekankan tidak akan mengakui perubahan apapun atas garis batas yang ditetapkan sebelum perang 1967, dan mengingatkan bahwa “penghentian semua kegiatan pembangunan sangat penting untuk menyelamatkan solusi dua negara di Yerusalem.”
Resolusi Majelis Umum PBB Atas Yerusalem
Resolusi 2253: 4 Juli 1967, menyampaikan kepedulian dan kekhawatiran atas upaya Israel untuk mengubah status Yerusalem dan meminta semua upaya yang telah diambil untuk dibatalkan dan tidak ada lagi upaya seperti itu.
Resolusi 36/15: 28 Oktober 1981, memastikan bahwa transformasi yang dilakukan Israel atas Yerusalem, termasuk terhadap situs sejarah, budaya dan agama, mengandung “pelanggaran yang menyolok terhadap prinsip hukum internasional”. Tindakan yang dilakukan Israel itu menyebabkan hambatan serius untuk mencapai perdamaian yang adil dan komprehensif di Timur Tengah.
Resolusi 55/130: 28 Februari 2001, meminta agar Israel bekerjasama dengan komite khusus yang dibentuk untuk menelisik tindakan Israel yang melanggar hak asasi manusia warga Palestina dan warga Arab lainnya, di kawasan yang diokupasi Israel. Resolusi itu menyatakan kekhawatiran mendalam akan situasi memburuk yang terjadi di Yerusalem, yang diakibatkan oleh praktik dan tindakan yang dilakukan, terutama penggunaan kekerasan militer yang berlebihan, yang menyebabkan lebih dari 160 warga Palestina tewas.
Resolusi 10/14 : 12 Desember 2003, meminta Pengadilan Internasional Untuk Keadilan (HAM) memberikan opini nasihat atas konsekuensi hukum dari pembangunan tembok yang dilakukan Israel di “wilayah Palestina yang diokupasi, termasuk Yerusalem Timur.”
Resolusi 60/104 : 18 Januari 2006, meminta komite khusus, “menunda penghentian kelanjutan okupasi Israel,” dan melanjutkan penelisikan terhadap aksi Israel di “wilayah Palestina yang diokupasi, termasuk Yerusalem Timur dan kawasan Arab lainnya” sejak perang 1967.
Resolusi 70/89: 15 Desember 2015, mengutuk kelanjutan dari okupasi Israel di wilayah Palestina yang dikuasainya, termasuk Yerusalem Timyr, sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Resolusi ini juga menyalahkan pembangunan tembok di kawasan itu yang dianggap melanggar hukum. Termasuk atas pembangunan tembok di dalam dan di lingkaran sekitar Yerusalem Timur.
Resolusi 71/96: 23 Desember 2016, menegaskan kembali bahwa Konvensi Jenewa atas perlindungan warga sipil dalam perang, harus diterapkan di kawasan Palestina yang diokupasi Israel, termasuk Yerusalem Timur dan kawasan Srab lainnya, sejak 1967.
Resolusi UNESCO atas Yerusalem
Badan PBB untuk pendidikan, sains dan budaya (UNESCO) juga menerbitkan sejumlah resolusi berkaitan dengan Yerusalem
Resolusi 150: 27 November 1996, menyebutkan bahwa “Kota Tua Yerusalem”, masuk dalam daftar warisan dunia yang terancam punah. UNESCO juga menyebutkan bahwa keputusan Israel membuka dan membangun terowongan dekat Masjid Al Aqsa sebagai tindakan yang menyerang sentimen keagamaan di dunia.
Resolusi 159: 15 Juni 2000, menyampaikan kepedulian atas situasi yang terus berlangsung, sikap yang membatasi akses bebas bagi warga Palestina untuk berkunjung ke Yerusalem.
Resolusi 184: 2 April 2010, menyampaikan kepedulian mendalam atas pekerjaan arkeologikal yang dilakukan Israel, termasuk pembongkaran dengan alat berat di kawasan Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Resolusi menyatakan bahwa kegiatan itu bertentangan dengan keputusan dan konvensi UNESCO.
Resolusi 192: 13 Januari 2014, mengkritisi Israel yang terus-menerus melakukan kegiatan pembongkaran dan pengrusakan situs arkeologi di Yerusalem Timur.
Resolusi 196 : 22 Mei 2015, menyesalkan mendalam atas penolakan Israel untuk implementasi keputusan UNESCO terkait dengan Yerusalem, dan meminta dikirim utusan pakar ke Yerusalem Timur, yang dapat melapor secara regular tentang semua aspek yang menjadi kepentingan dan kompetensi UNESCO di Yerusalem Timur.
Resolusi 202: 18 November 2017, menyesalkan sikap Israel yang menolak untuk melaksanakan permintaan UNESCO untuk menunjuk wakil permanen yang ditempatkan di Yerusalem Timur, dan menekankan perlunya segera dilakukan misi pemantauan UNESCO atas Kota Tua Yerusalem dan dinding-dinding yang dibangun di sana.
Sejak Trump mengumumkan rencananya, penolakan datang dari berbagai penjuru. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan, perubahan status Yerusalem akan bahayakan perdamaian dan proses perdamaian. Hal ini disampaikan melalui akun Twitter resmi @Portal_Kemlu_RI, Rabu, 6 Desember 2017, sebelum pengumuman itu.
Menlu Retno juga memanggil Dutabesar AS untuk Indonesia berkaitan dengan masalah ini. Komunikasi diplomatik membahas sikap Trump terkait Yerusalem juga dilakukan dengan Menlu Palestina, Menlu Yordania dan Menlu Turki.
Kamis dini hari, 7 Desember 2017, sesudah pengumuman Trump, akun Kemenlu menyampaikan perkembangan situasi. Menlu Retno disebutkan berkomunikasi dengan Menlu AS untuk tegaskan posisi Indonesia terkait status Yerusalem. –Rappler.com
Artikel Asli
Post a Comment