Mengapa Banyak Orang Takut Ular dan Laba-Laba?
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi baru dari tim peneliti di Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Leipzig, Jerman dan Uppsala University di Swedia mencoba menjawab penyebab mayoritas orang takut pada ular dan laba-laba. Mereka melibatkan responden penelitian bayi berusia enam bulan untuk mengetahui respons manusia sejak dini terhadap dua binatang tersebut.
Awalnya bayi-bayi tersebut diperlihatkan gambar dari bunga dan ikan, kemudian gambar ular dan laba-laba. Pupil mata bayi tersebut secara alami membesar saat melihat gambar ular dan laba-laba, sebagai respons tanda bahaya.
Dilansir dari Mental Floss, Kamis (2/11), pupil mata bayi-bayi tersebut melebar saat menatap gambar kedua hewan menakutkan itu. Ini menunjukkan manusia secara alami menunjukkan ketidaksukaan terhadap laba-laba dan ular yang sudah tertanam sejak dini.
Studi di atas menggunakan ukuran alokasi perhatian responden terhadap obyek penelitian. Bayi mampu mendeteksi ancaman, dan mengasosiasikan ekspresi ketakutan mereka dengan mimik wajah dan vokal, khususnya pada bayi perempuan.
Dalam studi pertama Erlich dkk (2013), bayi-bayi berusia sembilan bulan bereaksi dengan deselerasi denyut jantung meningkat, pupil mata membesar, dan jarang berkedip ketika menjumpai ketakutan secara visual. Reaksi yang sama juga ditunjukkan saat mereka mendengar suara orang marah, bara api, dan termasuk desisan ular.
Thras dan LoBue (2016) mengukur denyut jantung bayi enam hingga sembilan bulan, serta denyut jantung orang tua, serta respons matanya ketika disajikan video ular bergerak atau gajah yang sedang marah. Detak jantung bayi lebih kencang ketika melihat video pergerakan ular ketimbang mendengar suara gajah mengamuk.
Ketakutan di atas, menurut peneliti merupakan ketakutan alami yang sudah ada sejak zaman nenek moyang manusia. Hal ini berkembang seiring pembiasaan yang ke depannya menentukan tingkat ketakutan tersebut bisa berkurang, hilang, atau tetap sama.
Terkait perkembangan bayi, peneliti menyarankan orang tua untuk tidak memperkenalkan ketakutan spesifik terlalu dini pada bayi. Ini bisa menyebabkan respons stres pada usia mereka yang tergolong sangat muda. [Republika]
Awalnya bayi-bayi tersebut diperlihatkan gambar dari bunga dan ikan, kemudian gambar ular dan laba-laba. Pupil mata bayi tersebut secara alami membesar saat melihat gambar ular dan laba-laba, sebagai respons tanda bahaya.
Dilansir dari Mental Floss, Kamis (2/11), pupil mata bayi-bayi tersebut melebar saat menatap gambar kedua hewan menakutkan itu. Ini menunjukkan manusia secara alami menunjukkan ketidaksukaan terhadap laba-laba dan ular yang sudah tertanam sejak dini.
Studi di atas menggunakan ukuran alokasi perhatian responden terhadap obyek penelitian. Bayi mampu mendeteksi ancaman, dan mengasosiasikan ekspresi ketakutan mereka dengan mimik wajah dan vokal, khususnya pada bayi perempuan.
Dalam studi pertama Erlich dkk (2013), bayi-bayi berusia sembilan bulan bereaksi dengan deselerasi denyut jantung meningkat, pupil mata membesar, dan jarang berkedip ketika menjumpai ketakutan secara visual. Reaksi yang sama juga ditunjukkan saat mereka mendengar suara orang marah, bara api, dan termasuk desisan ular.
Thras dan LoBue (2016) mengukur denyut jantung bayi enam hingga sembilan bulan, serta denyut jantung orang tua, serta respons matanya ketika disajikan video ular bergerak atau gajah yang sedang marah. Detak jantung bayi lebih kencang ketika melihat video pergerakan ular ketimbang mendengar suara gajah mengamuk.
Ketakutan di atas, menurut peneliti merupakan ketakutan alami yang sudah ada sejak zaman nenek moyang manusia. Hal ini berkembang seiring pembiasaan yang ke depannya menentukan tingkat ketakutan tersebut bisa berkurang, hilang, atau tetap sama.
Terkait perkembangan bayi, peneliti menyarankan orang tua untuk tidak memperkenalkan ketakutan spesifik terlalu dini pada bayi. Ini bisa menyebabkan respons stres pada usia mereka yang tergolong sangat muda. [Republika]
Post a Comment