Cara Jepang dan Cina Memutar Balik Stigma Buruk Produknya
Produk Cina melekat sebagai produk yang berkualitas rendah. Banyak kasus yang mendukung anggapan miring tersebut.
Dalam tulisan David Volodzko berjudul How 'Made in China' Became a Stigma yang dimuatThe Diplomat, ia memaparkan bagaimana produk Cina awalnya selalu mendapat stigma buruk dari konsumen.
Ia mengambil contoh bagaimana skandal susu pada 2008, insektisida dalam pangsit, telur yang tercemar melamin, urea dalam kacang panjang, beras plastik hingga formaldehid dalam bir merusak reputasi produk Cina dan menjadi pengalaman buruk bagi konsumen pada masa lalu.
Selain pada produk makanan, Cina yang mulai merambah industri ponsel pintar juga diterpa dengan stigma miring bahwa produk Cina itu hanya unggul pada harga yang murah namun memiliki kualitas rendah. Di awal kemunculannya, ponsel Cina memang dibanderol dengan harga murah yang jauh di bawah produk AS yaitu Apple atau Samsung dari Korea Selatan.
Pandangan konsumen bahwa “harga menentukan kualitas” membuat produk Cina tak banyak dilirik meski awalnya harga murah itu untuk menarik konsumen yang selama ini dihadapkan pada harga ponsel Apple atau Samsung yang mahal.
Stigma buruk pada produk Cina ini juga yang menjadi salah satu batu sandungan kala vendor ingin melebarkan pasarnya ke dunia Barat. Di mata konsumen, produk Barat memiliki kualitas bagus, menangkap tren, dan lebih mutakhir dibandingkan produk Cina.
Namun, Cina mulai menjungkirbalikkan stigma tersebut sudah tak berlaku lagi untuk saat ini terutama untuk produk ponsel pintar. Inovasi tentu menjadi kunci Cina dalam meraih kesuksesan saat ini.
Pada 2011, sekitar 70 persen penjualan ponsel pintar di pasar Cina dikuasai oleh Nokia, Samsung, dan Apple. Namun berdasarkan laporan Statista, pada 2016 ponsel lokal Cina seperti Huawei, OPPO, Vivo dan Xiomi menjadi ponsel paling laris mengalahkan Apple dan Samsung.
Kondisi itu terus berlanjut hingga 2017. Penjualan empat merek ponsel itu kian meningkat dan berhasil menguasai 69 persen pasar ponsel pintar Cina pada kuartal II-2017. Sedangkan Apple turun 0,3 persen dan Samsung terjun bebas dengan penurunan sebesar 4 persen dibandingkan kuartal yang sama di 2016.
Secara Global, ponsel Cina memang belum mampu mengalahkan Samsung dan Apple. Namun, tiga produk Cina yaitu Huawei, OPPO, dan Vivo mulai menempel kedua produk internasional itu dengan berada tak tepat di posisi ketiga, keempat dan kelima sebagai ponsel terlaris di dunia.
"Banyak orang biasa melihat ponsel pintar Cina sebagai copycats. Tapi situasinya sudah banyak berubah, "kata Jin Di, Research Manager IDC Cina dikutip dari South China Morning Post.
"Di satu sisi, mereka telah melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas produk. Di sisi lain, banyak usaha telah dilakukan untuk memperbaiki citra merek mereka," katanya.
Ada beberapa faktor mengapa produk Cina dapat melawan stigma Made in China yang buruk. Di awal kemunculan, ponsel Cina hanya menawarkan sebuah ponsel dengan konsep yang mirip bahkan dianggap meniru konsep Samsung dan Apple. Begitu pun pada produk lainnya seperti fesyen yang meniru desain Barat.
Para vendor Cina mulai melakukan gebrakan dengan menghadirkan konsep baru seperti [OPPO] dengan konsep roteting camera dengan lensa berlisensi Schneider Kreuznach dan teknologi A.I Beauty Recognition untuk teknologi selfie. Menyediakan produk canggih, mutakhir, berkualitas tinggi yang banyak dibutuhkan konsumen menjadi landasan inovasi para vendor Cina saat ini.
Inovasi dan perbaikan kualitas tak lepas dari usaha Cina meningkatkan riset dan pengembangan di berbagai sektor termasuk pada ponsel pintar. Menurut laporan Harvard Business Review, anggaran riset pemerintah juga terus ditingkatkan dari 1,7 persen dari GDP di 2010 menjadi 2,5 persen dari GDP pada 2020. Langkah ini juga membantu iklim inovasi bagi dunia usaha dalam berinovasi.
Dalam laporan McKinsey yang dikutip Forbes, sekitar 62 persen konsumen Cina kini mulai beralih ke merek lokal dibandingkan merek impor bila memiliki kualitas serta harga yang sama.
Merek-merek impor yang awalnya banyak disukai anak muda dan kaum jetset mulai menunjukkan penurunan. Mark Tanner, Direktur China Skynny, sebuah perusahaan riset berbasis di Shanghai, mengatakan bahwa warga Cina kini tak lagi “membutuhkan merek asing untuk menunjukkan bahwa mereka keren.”
Merek lokal mulai dari ponsel hingga fesyen kini dianggap dapat mendukung warga Cina untuk tampil kekinian. Penduduk lokal juga mulai menumbuhkan sikap mencintai produk lokal dan menganggap sebagai bentuk cinta negara.
Barang fesyen mewah buatan Cina yang sebelumnya dipandang memiliki reputasi rendah mulai berubah tak lepas dari “efek Peng Liyuan” gaya berbusana istri Presiden Xi Jinping menjadi pusat perhatian. Efek Peng Liyuan dianggap menjadi salah satu soft power Cina di bidang fesyen, sama seperti yang terjadi di Eropa yang dikenal dengan “Efek Kate Middleton.”
Selain First Lady Cina yang melakukan soft power, para pelaku bisnis misalnya di bidang perfilman juga berkontribusi besar. Meningkatnya film lokal Cina menjadi ajang soft power untuk menunjukkan merek lokal, sama seperti yang dilakukan film Amerika dalam mempromosikan Apple, Starbucks atau Nike yang disisipkan dalam film.
Dari sisi regulasi, pemerintah mendukung industri Cina dengan memberi pajak murah termasuk pada industri ponsel, menurut laporanIB Times. Vendor juga dapat memanfaatkan infrastruktur manufaktur di Shenzhen yang menjadi kota tujuan para konsumen produk elektronika. Hal ini memberi kontribusi untuk menurunkan biaya produksi.
Apa yang terjadi pada produk Cina yang perlahan-lahan mengikis stigma, juga dialami oleh negara industri lainnya seperti Jepang.
Produk Jepang Melawan Stigma
Jepang yang kini hadir sebagai salah satu raksasa teknologi dunia mulai dari industri otomotif hingga elektronika rumah tangga juga pernah menerima stigma buruk soal produknya yang menyalin desain dan merek dagang, standar kualitas rendah dan buruk. Stigma itu juga datang dari rakyat mereka sendiri.
Akira Nagashima pernah melakukan survei pada 1965 dan 1967 untuk membandingkan bagaimana tanggapan konsumen terkait produk Jepang, AS, Inggris, Jerman, dan Italia. Dalam tulisannya berjudul A Comparison of Japanese and U.S Attitudes Toward Foreign Products, ia mengungkapkan bahwa warga Jepang menganggap made in Japan adalah produk murah dengan proses pengerjaan buruk.
Dalam survei, Akira juga mengelompokkan produk berdasarkan jenis, misalnya otomotif, peralatan elektronika, tekstil, kosmetik, makanan dan obat-obatan. Para pebisnis AS dan Jepang disurvei, negara mana yang produknya paling bagus berdasarkan harga, kualitas, desain, servis dan lainnya.
Untuk kelompok otomotif, 81 persen pebisnis AS memilih produk dalam negeri dan tak ada yang memilih Jepang. Sedangkan 54 persen pebisnis Jepang juga memilih produk AS dan hanya 5 persen yang memilih produk lokal Jepang.
Sedangkan untuk barang elektronika, 94 persen pebisnis AS tentu memilih produk AS dan hanya 4,5 persen yang memilih produk Jepang. Di sisi lain pebisnis Jepang sebanyak 40 persen memilih produk AS dan 48 persen memilih produk dalam negeri.
Sedangkan untuk kosmetik, para pebisnis AS tak memilih salah satu negara sedangkan pebisnis Jepang memilih produk Perancis. Jumlahnya mencapai 81 persen. Hanya 9 persen orang Jepang yang memilih produk kosmetik dalam negeri.
Masih dalam tulisan Akira, ia mengungkapkan bahwa warga Jepang menganggap produk AS memiliki nilai gengsi lebih dibanding lainnya. Salah satu strategi AS menarik konsumen saat itu dengan gencar melakukan pemasaran dengan iklan yang masif sehingga produknya gampang dikenal dibanding produk lainnya.
Namun, seiring waktu berjalan, setelah 1970-an, Jepang mulai mengubah industrinya dengan membangun produk-produk yang berkualitas dan memperluas pasar di seluruh dunia. Di Brazil, produk Kanban, 5S, dan Kaizen sangatlah popular. Produk Jepang juga banyak dikenal lewat merek elektronika dan otomotif. Bahkan sebelum Volkswagen (VW/Jerman) mengambil alih pasar mobil, Toyota selama beberapa tahun memimpin penjualan mobil dunia.
Namun, memiliki produk berkualitas dan menjadi salah satu pemimpin negara industri tak lantas akan mengukuhkan Jepang di puncak pasar. Akhir-akhir ini produk Jepang tengah diuji dengan berbagai skandal sepertirecall air bag Takata, skandal Olympus atau skandal Nissan.
Hugh Cortazzi yang menjabat sebagai duta besar Inggris untuk Jepang pada 1980-1984 mengkritik bagaimana Jepang berusaha menutupi skandal-skandal tersebut termasuk berbuat curang sehingga tak ada yang dipenjara terkait skandal yang terjadi pada Olympus. Menurut Hugh, hal ini dapat mencoreng reputasi produk Jepang, seperti peribahasa "Nila setitik, rusak susu sebelanga".
Artikel Asli
Post a Comment