Header Ads

Lebih Hebat dari Manusia, Ikan Ini Pulih Setelah Membeku


Ikan karper dapat hidup kembali setelah membeku selama musim dingin(Shutterstock)
Ikan karper dapat hidup kembali setelah membeku selama musim dingin(Shutterstock)
KOMPAS.com – Bila manusia kedinginan hingga membeku, keadannya bisa berujung pada kematian. Tanpa mendapatkan oksigen, organ di dalam tubuh menjadi rusak.
Dalam hitungan menit, sel otak akan mati. Sedangkan bila oksigen kurang dari enam persen, tak perlu waktu lama bagi manusia untuk menerima ajalnya.
Namun, kondisi itu tak berlaku bagi ikan mas jenis Carassius carassius Eropa Utara. Vertebrata ini dapat kembali hidup meski membeku selama musim dingin. Saat es mencair di musim semi, ikan mas ini memulai aktivitasnya seolah tak ada yang terjadi.
Hal ini dipengaruhi oleh glikogen yang ada pada tubuh ikan tersebut. Glikogen menghasilkan etanol melalui glokolisis. Hati ikan mas tersebut akan tetap aktif menjaga aliran darah, melepaskan etanol di atas insang untuk menghindari keracunan, tanpa memerlukan oksigen.
Hingga kini, belum ada penjelasan bagaimana otak ikan tersebut dapat selamat dari kematian sel. Untuk itu, tim peneliti dari Universitas Oslo dan Universitas Skotlandia Barat mengungkap hasil evolusi tersebut.
Seperti diwartakan Science Alert pada Rabu (1/11/2017), para peneliti menangkap ikan mas jenis Carassius carassius dari sebuah kolam dekat Oslo dan menempatkannya ke dalam musim dingin buatan di laboratorium. Ikan tersebut kemudian kehilangan oksigen (keadaan anoksia).
Setelah sepekan ikan-ikan tersebut disuplai dengan oksigen untuk menciptakan musim semi buatan. Zat pewarna juga digunakan untuk mendeteksi kematian sel dan pertumbuhannya.
Kekurangan oksigen tidak menunjukkan perubahan normal kematian sel otak. Setelah diberikan oksigen, kematian sel lebih dari dua kali lipat. Ini membuktikan penelitian Lisa Yuen dalam tesis masternya tahun 2010 di Universitas Oslo benar.
"Ketika ikan yang dalam keadaan anoksia diberi satu hari reoksigenasi pada tingkat oksigen normal, peningkatan 170 persen jumlah sel apoptosis (sel kematian) terdeteksi," tulis Yuen.
"Apoptosis yang meningkat setelah reoksigenasi menyerupai efek reperfusi atau pengaliran darah setelah iskemia (ketidakcukupan darah) serebral pada mamalia, di mana reperfusi mempercepat laju kematian sel," sambungnya.
Para peneliti menguji efeknya dengan melatih ikan mas tersebut dengan mencari makan di dalam labirin. Lalu, proses pembekuan di musim dingin buatan, musim semi, dan kembali masuk ke labirin.
Ikan mas jenis Carassius carassius dengan cepat dapat menemukan makanannya di dalam labirin sebelum kekurangan oksigen. Setelah dibekukan, ingatan mereka rusak dan lebih sulit menemukan makanan.
Pada pengujian kedua, Lisa Yuen dan koleganya tak melatih ikan tersebut dan langsung membekukannya. Pelatihan menguasai labirin terjadi setelah "dihidupkan" kembali.
Ternyata, pada tahap ini kemampuannya setara dengan ikan dalam pengujian pertama sebelum dibekukan. Hal ini menujukkan kerusakan otak setalah reoksigenisasi bersifat sementara.
Hebatnya, pemulihan dapat terjadi meski terdapat kerusakan pada telencephalon – bagian otak ikan yang dianggap sama dengan hippocampus pada manusia yang berfungsi sebagai pembelajaran dan ingatan.
"Sementara ikan menunjukkan tanda-tanda kematian sel yang meningkat di telencephalon… juga terbukti bahwa mereka dapat membatasi jumlah kerusakan yang mereka pertahankan dan pulih dari cedera, kemampuan yang paling tidak dimiliki vertebrata lainnya," tulis para peneliti dalam publikasinya di Journal of Experimental Biology, Rabu (1/11/2017).
"Ini membuat ikan mas jenis Carassius carassius menjadi model yang menarik dari perspektif biomedis - walaupun kita tidak mungkin menemukan cara untuk membiarkan jaringan manusia bertahan dalam cedera anoksik yang parah tanpa kerusakan," tulis laporan tersebut.
"Namun, layak untuk mempelajari hewan seperti ikan mas jenis Carassius carassius yang bisa memberi pengetahuan bagaimana kita bisa membatasi dan memperbaiki kerusakannya," lanjut laporan tersebut.
Artikel Asli

No comments